Oleh: Dr. Bhenu Artha, S.E., M.M. Dosen Program Studi Kewirausahaan, Fakultas Ekonomi, Universitas Widya Mataram (UWM)
Dalam beberapa tahun terakhir, dunia menyaksikan pergeseran paradigma pembangunan ekonomi yang semakin menekankan pentingnya keberlanjutan. Salah satu arah baru yang muncul adalah integrasi antara inisiatif ekonomi hijau dan teknologi finansial (FinTech). Kolaborasi ini tidak hanya mencerminkan respons terhadap tantangan lingkungan global, tetapi juga menunjukkan bagaimana inovasi digital dapat menjadi katalis dalam mempercepat transformasi menuju ekonomi rendah karbon.
Ekonomi hijau merujuk pada model pembangunan yang berorientasi pada pengurangan emisi karbon, efisiensi sumber daya, dan pelestarian lingkungan hidup. Dalam konteks ini, FinTech hadir sebagai enabler yang memungkinkan efisiensi, transparansi, dan aksesibilitas dalam pengelolaan keuangan yang mendukung tujuan-tujuan hijau. Teknologi seperti blockchain, artificial intelligence, dan big data telah digunakan untuk memantau jejak karbon, mengelola investasi berkelanjutan, dan menciptakan sistem insentif bagi perilaku ramah lingkungan.
Dukungan pemerintah terhadap teknologi bersih menjadi elemen krusial dalam ekosistem ini. Kebijakan fiskal seperti subsidi energi terbarukan, insentif pajak untuk perusahaan hijau, serta regulasi yang mendorong transparansi lingkungan dalam laporan keuangan, semuanya memperkuat posisi FinTech sebagai mitra strategis dalam pembangunan berkelanjutan. Ketika pemerintah menyediakan kerangka regulasi yang mendukung, investor pun lebih percaya diri untuk menanamkan modal pada sektor FinTech yang berorientasi hijau.
Peningkatan minat investor terhadap FinTech bukanlah fenomena yang berdiri sendiri. Ia merupakan bagian dari tren global yang mengarah pada investasi berdampak (impact investing), di mana keuntungan finansial berjalan seiring dengan dampak sosial dan lingkungan. Platform FinTech yang menawarkan produk-produk seperti green bonds, peer-to-peer lending untuk proyek energi terbarukan, atau crowdfunding untuk konservasi alam, menjadi saluran baru bagi investor yang ingin berkontribusi pada ekonomi hijau.
Dengan adanya dukungan kebijakan dan minat pasar yang tinggi, transisi menuju ekonomi rendah karbon dapat berlangsung lebih cepat dan inklusif. FinTech memungkinkan pendanaan proyek-proyek hijau yang sebelumnya sulit dijangkau oleh sistem keuangan konvensional, terutama di negara berkembang. Ini menciptakan peluang baru bagi pelaku usaha kecil, komunitas lokal, dan inovator teknologi untuk berpartisipasi dalam ekonomi hijau.
Pernyataan bahwa keberlanjutan tidak bisa dilepaskan dari transformasi digital menjadi semakin relevan dalam era pasca-pandemi. Digitalisasi telah mengubah cara kita bekerja, bertransaksi, dan berinteraksi. Dalam konteks keberlanjutan, digitalisasi memungkinkan pengumpulan data lingkungan secara real-time, analisis perilaku konsumen, dan pengembangan solusi berbasis teknologi yang lebih efisien dan adaptif.
FinTech, sebagai bagian dari transformasi digital, berperan dalam menciptakan sistem keuangan yang lebih inklusif, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan lingkungan. Dengan memanfaatkan teknologi digital, pelaku ekonomi dapat mengakses informasi yang lebih akurat, membuat keputusan investasi yang lebih bijak, dan berkontribusi pada pembangunan yang berkelanjutan.
Salah satu kontribusi paling signifikan dari FinTech adalah kemampuannya dalam memperluas inklusi keuangan. Di banyak negara berkembang, akses terhadap layanan keuangan formal masih terbatas, terutama di daerah pedesaan dan komunitas marginal. FinTech menjembatani kesenjangan ini melalui layanan seperti mobile banking, e-wallet, dan platform pinjaman digital. Dengan teknologi mobile banking, masyarakat yang sebelumnya tidak memiliki akses ke rekening bank kini dapat menabung, meminjam, dan melakukan transaksi secara digital. Ini bukan hanya soal kenyamanan, tetapi juga soal pemberdayaan ekonomi.
Inklusi keuangan yang didorong oleh FinTech memiliki dampak sosial yang luas. Ia memungkinkan masyarakat untuk membangun ketahanan finansial, mengakses modal usaha, dan merencanakan masa depan dengan lebih baik. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengurangi kemiskinan, meningkatkan produktivitas, dan memperkuat stabilitas ekonomi nasional.
FinTech tidak hanya berdampak pada sektor makro, tetapi juga pada kehidupan sehari-hari masyarakat. Adopsi FinTech di tingkat rumah tangga berkontribusi pada peningkatan konsumsi dan pengurangan kesenjangan konsumsi. Ini berarti bahwa teknologi finansial mampu mendorong redistribusi ekonomi secara lebih merata. Ketika rumah tangga memiliki akses terhadap layanan keuangan digital, mereka cenderung lebih aktif dalam kegiatan ekonomi. Mereka dapat membeli barang dan jasa dengan lebih mudah, mengelola anggaran rumah tangga secara efisien, dan merespons perubahan pasar dengan lebih cepat. Hal ini menciptakan efek domino yang memperkuat daya beli, mendorong pertumbuhan UMKM, dan memperluas basis konsumen dalam ekonomi nasional.
Pengurangan kesenjangan konsumsi juga mencerminkan peningkatan keadilan sosial. FinTech memungkinkan kelompok masyarakat yang sebelumnya terpinggirkan untuk berpartisipasi dalam ekonomi formal, mengakses peluang yang setara, dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Ini sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), khususnya dalam hal pengurangan ketimpangan dan pemberdayaan ekonomi.
Dengan berbagai dampak positif yang ditawarkan oleh FinTech, terbuka peluang besar bagi pemerintah untuk memanfaatkannya sebagai alat intervensi kebijakan. Dalam bidang fiskal, pemerintah dapat menggunakan data dari platform FinTech untuk merancang subsidi yang lebih tepat sasaran, mengidentifikasi kelompok rentan, dan mengoptimalkan alokasi anggaran. Dalam bidang sosial, FinTech dapat digunakan untuk menyalurkan bantuan langsung, memantau efektivitas program, dan meningkatkan transparansi distribusi.
Selain itu, FinTech juga dapat mendukung program literasi keuangan, pelatihan kewirausahaan, dan pengembangan kapasitas masyarakat. Dengan pendekatan yang berbasis data dan teknologi, kebijakan sosial dapat menjadi lebih adaptif, inklusif, dan berdampak jangka panjang.
Integrasi antara ekonomi hijau dan FinTech bukanlah sekadar tren, melainkan strategi pembangunan yang menjanjikan. Ia menggabungkan kepedulian terhadap lingkungan dengan efisiensi teknologi, serta memperluas akses keuangan bagi seluruh lapisan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, sinergi ini sangat relevan untuk mempercepat transformasi ekonomi, memperkuat ketahanan sosial, dan mewujudkan pembangunan yang berkeadilan.
Ke depan, tantangan utama adalah memastikan bahwa inovasi FinTech tetap berpihak pada keberlanjutan dan inklusi. Ini membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat sipil. Dengan visi bersama dan komitmen yang kuat, FinTech dapat menjadi motor penggerak ekonomi hijau yang inklusif dan berdaya tahan.